Memburu Beasiswa, Upaya Merubah Nasib“Anak petani yang ingin sekolah tinggi”
Masih teringat dengan jelas pesan orang tuaku, waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Katanya, “Kalau mau ubah nasib, Nak, kamu harus sekolah yang tinggi. Kalau tidak, yaa, kamu akan jadi petani seperti bapakmu ini nantinya."
Saya kira, tidak ada hal yang istimewa dengan kata-kata itu bagi kebanyakan orang, namun bagi saya hal itu cukup mengusik pikiran. Artinya, kalau saya tidak sekolah sampai ke perguruan tinggi, nasib saya tidak akan berubah: akan jadi petani meneruskan profesi leluhur, banting tulang di tengah sawah di bawah sengatan matahari dan cucuran keringat dengan hasil panen tidak seberapa bila dihitung dengan cost dan pengorbanan yang harus dikeluarkan.
Berminggu-minggu kata-kata tersebut tidak hilang dalam benak.’Sekolah yang tinggi’, ‘perguruan tinggi’, ‘jadi petani’, ‘ubah nasib’, itulah beberapa ‘keywords’ yang terus menghantuiku saat itu. Beberapa deretan pertanyaan lain juga bermunculan, berdialog dengan jiwa sendiri terjadi begitu sering. “OK, OK, siapa sih yang ngak mau merubah nasib, siapa yang mau jadi petani terus, siapa yang ngak mau sekolah sampai ke perguruan tinggi. Tapi bagaimana caranya? Apakah punya duit untuk menyekolahkan aku?” Kalau dihitung dari hasil panen selama ini, ditambah job sampingan orang tuaku lainnya, paling banter aku hanya mampu bersekolah sampai SMA, tidak lebih dari itu!
Banyak bukti sudah. Selama ini yang tamat dari SMA saja (di kampungku nun jauh di Aceh) bisa dihitung dengan jari, apalagi tamatan perguruan tinggi. “Kalau hanya tamatan SMA, lebih baik tidak sekolah saja,” keluh aku pada waktu itu. Bagiku, itu hanya menambah citra negatif tentang anak sekolah: tiga tahun umur habis di SMP dan tiga tahun lagi habis di SMA, paling bisa cuma …, dan tidak ada skill khusus yang membuat berbeda dengan anak yang tidak sekolah. Sangat kontras, kalau enam tahun dihabiskan di pesantren, perubahannya begitu nyata. Mereka mampu jadi imam, memberi khotbah, membaca kitab-kitab berbahasa Arab “gundul”, menguasai tata bahasa Arab dengan baik dan mampu menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan begitu baik...
Memang, kampungku pada saat itu punya tradisi pesantren yang kuat. Secara rata-rata, anak-anak cerdas kebanggaan dan kesayangan orang tua dikirim ke pesantren, menuntut ilmu akhirat. Sangat jarang yang dikirim ke sekolah. Pada saat itu belum ada satupun “tukang insinyur”. Sekolah bagi sebagian orang itu tidak hanya identik dengan keduniawian dan dunia sekular, tapi juga identik dengan duit dan mahal. Tidak banyak orang tua yang sanggup menyekolahkan anaknya.
Pada suatu pagi, aku memutuskan dan berikrar, bahwa pada suatu hari aku akan meninggalkan sawah-sawah kebanggaan orang tuaku ini, meninggalkan kampung, tidak untuk ke pesantren, namun mencari sekolah terbaik. Badan aku tidak begitu kuat, untuk terus menggarap sawah yang semakin hari semakin menyempit dengan pembukaan ladang-ladang minyak oleh Exxon Mobil.
Kemudian, beberapa strategi aku buat. Pertama, tidak ada pilihan lain, belajar yang rajin, jadi juara, dan yakinkan orang tua dan keluarga besarku bahwa aku ini lebih cocok ke sekolah daripada ke pesantren. Alhamdulillah, dengan izin Allah, aku lulus juara satu dari SD. Hasil ini, aku jadikan alat tawar menawar dengan Ibuku, agar beliau mengurunkan niatnya untuk mengirimkan aku ke pesantren. Dengan bantuan bapakku, mama mengizinkan aku melanjutkan ke SMP, dengan catatan, malam hari harus mengaji dan setelah tamat SMP pergi ke pesantren. Aku setuju dengan persyaratan itu. Namun dalam hati kecilku, mudah-mudahan Allah membantu aku agar bisa sampai ke SMA.
Di SMP, semangat belajar aku cukup tinggi, rangking satu dari kelas 1 sampai kelas 3 dan akhirnya aku bisa lulus dengan NEM tertinggi waktu itu. Dengan modal NEM tertinggi, sebenarnya aku punya kebebasan untuk memilih SMA terbaik, namun sayang pada saat itu, sistem Rayon diterapkan. Hanya SMA dalam satu rayon yang diperkenankan untuk dimasuki. Kalau mau sekolah di luar rayon, kami harus mempunyai surat izin khusus dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.
Berdasarkan sistem rayonisasi, aku hanya diperkenankan sekolah di SMA Negeri 1 Lhoksukon. Sementara, aku ingin sekolah di SMA Negeri I di Lhokseumawe. Secara diam-diam, tanpa memberitahu orang tuaku, pagi itu aku ke Lhoksumawe. Sampai di sana, aku terkejut karena beberapa teman SMPku sudah duluan di sana, mereka semuanya mengantongi surat sakti bebas rayonisasi dan itu berarti mereka punya peluang besar untuk sekolah di SMA Negeri I Lhokseumawe. Lima orang dari mereka mendaftar di Loket 1, sementara aku memilih loket yang paling sepi, di loket 5. Begitu map pendaftaran aku serahkan, si petugas melihat satu persatu berkasku dan dia bolak balik mencari surat bebas rayon. Sementara aku hanya diam sambil menbaca berdoa dalam hati “Ya Allah mudahkanlah urusan hambamu ini” dan akhirnya, Alhamdulillah, dia tidak mempersoalkan mengenai surat bebas rayon. Dengan perasaan lega aku pergi dari loket 5 tersebut.
Seminggu berikutnya, pengumuman kelulusan ditempel dan sangat mengejutkan, yang diterima hanya dua orang termasuk aku. Empat teman yang lain, menanyakan berapa aku bayar petugas sehingga aku tidak dimintai Surat Bebas Rayon dan bisa lulus. Waduh! Aku cuma bilang, “Ini semuanya kehendak Allah, mungkin Allah yang berkendak aku sekolah di sini.” Tentu, mereka tidak bisa menerima alasan aku begitu saja. Dalam hati kecilku, terserah saja (apa kata mereka), yang penting aku sudah diterima di SMA 1 Lhokseumawe. Tugas penting aku berikutnya adalah bagaimana menyakinkan orang tua agar aku lulus ke babak berikutnya : agar diberi izin untuk melanjutkan sekolah…!
“Bersekolah di Lhokseumawe”
Suatu ketika, secara tidak sengaja aku bertemu panitia pendaftaran SMA 1 Lhokseumawe yang bertugas di Loket 5 waktu pendaftaran minggu sebelumnya. Secara spontan aku berterima kasih kepadanya. Waduh, ternyata dia betul-betul membantu aku! Berarti dia tahu aku sebenarnya tidak bisa sekolah di SMA ini karena berbeda Rayon.
Aku bertanya-tanya, kenapa dia mengambil resiko dengan menerimaku? Dia melihat bahwa aku ini anak yang rajin, insya Allah, suatu hari dapat membanggakan SMA ini, begitu kira-kira penjelasannya.
Penjelasan dia, mempunyai daya dorong yang begitu tinggi dan aku harus lebih lebih rajin belajar lagi dan harus membalas kebaikan dia dengan mewujudkan harapannya. Kamipun merasa akrab dan aku tidak merasa sungkan untuk mengungkapkan permasalahan aku mengenai bagaimana cara meyakinkan orang tua dan mengenai permasalahan bea sekolah nantinya kalau aku jadi sekolah. Hal ini perlu saya beri tahukan ke dia, apabila minggu berikutnya aku tidak nongol di SMA ini untuk pendaftaran ulang, setidaknya dia tahu alasannya kenapa.
Alhamdulillah, dia mendengar dengan baik dan memberikan jalan keluar. Dia berjanji memperkenalkan aku dengan seseorang, yang kebetulan membutuhkan orang untuk mengajar mengaji anaknya. Kedua, tambahnya, dalam tradisi di SMA Negeri I Lhokseumawe, setiap juara satu biasanya mendapatkan beasiswa. Dua informasi ini, cukup membuat aku merasa yakin, aku akan bisa sekolah.
Sampai di rumah, orang tuaku sedang menerima tamu : tamu jauh, dari Lhokseumawe. Dari mana, tanya orang tuaku, "Dari Lhoksumawe, dan saya lulus dan diterima di SMA 1 Lhokseumawe, " jawabku. Tamu tersebut, secara spontan bilang, "Selamat ya, kan susah masuk di SMA 1. Sekarang, begini saja", katanya, "Kamu tinggal dirumah saya saja, sambil bantu-bantu apalah di rumah. Apa mau?” "Mau, mau, mau sekali", jawab aku tanpa pikir panjang.
Alhamdulillah, Ya, Allah, ini caranya Engkau memberikan kemudahan bagi hambamu ini? Aku bersyukur kepada-Mu. "Ya, saya mau”, jawab aku lagi. Yang penting saya bisa sekolah! Orang tua aku tidak bisa berkata banyak, pada waktu itu. Akhirnya ijab kabul serah terima anak berlangsung: sebuah tradisi orang di kampungku.
Tekat aku untuk juara semakin kuat, terutama didorong agar beasiswa. Aku sekolah sambil ngajar ngaji, mengajar privat anak-anak keturunan Cina untuk menutupi bea hidup di Lhokseumawe, terutama setelah pindah dari rumah saudaraku itu. Aku terpaksa harus pindah, karena saat itu aku mulai suka, naksir, sama anaknya. Dia begitu cantik, dan dia juga senang dan suka sama aku. Nah, hal ini aku tidak bisa biarkan, karena akan menganggu rencana dan cita-cita awal aku. Aku yakin, ini tidak baik buat dia dan buatku. Akhirnya, aku putuskan, aku pindah agar prestasi aku tetap baik. Alhamdulillah, aku bisa juara terus dan beasiswa Rp 50.000 per bulan bisa aku terima terus. Setelah tiga tahun, akhirnya, aku lulus dari SMA tersebut dengan nilai terbaik.
Masih begitu jelas aku ingat, begitu aku diumumkan lulus, orang pertama yang aku temui adalah Bapak yang bertugas di Loket 5 waktu pendaftaran masuk SMA tiga tahun yang lalu. Karena bantuannyalah aku bisa sekolah di SMA Negeri I Lhokseumawe. Aku datang ingin mengucapkan terimakasih banyak. Dia bangga, karena harapan dia bisa terwujud.
Malam harinya, aku pergi ke rumah wali kelas. Aku mau mengucapkan terimakasih banyak atas semua bantuannya selama ini. Dalam kesempatan itu, ibu wali kelasku menanyakan rencana aku selanjutnya, “Apa mau kuliah?” tanyanya. “Ada rencana, namun belum tahu bagaimana caranya. Orang tuaku tidak punya cukup duit,” keluhku. Dia memberitahukan, ada caranya. Menurutnya, tahun itu dibuka kembali USMU, sejenis PMDK tahun-tahun sebelumnya, undangan ke beberapa universitas. Kalau aku lulus di universitas terbaik, seperti UI, ITB, UGM, IPB dia bisa membantu mencari beasiswa dari beberapa perusahan besar di Lhokseumawe seperti PT. Pupuk Iskandar Muda dan PT. ARUN. Mendengar kabar ini, cita-cita untuk kuliah kelihatannya akan segera terwujud.
“Kuliah dan bekerja di pulau seberang”
Satu bulan setelah pengumuman kelulusan SMA, surat dari UI dan IPB datang, dan aku diterima di dua-duanya. Langsung aku melaporkan ke Ibu wali kelasku, ternyata dia sudah tahu duluan, bahkan sudah lebih jauh, ia sudah menghubungi beberapa pengurus inti yayasan Almuntaha, sebuah yayasan yang dikelola oleh pengurus mesjid kompleks PT Pupuk Iskandar Muda.
Aku disuruh bertemu dengan pengurus Yayasan Almuntaha untuk wawancara. Wawancara ternyata cukup berbeda seperti aku bayangkan. Pertama-tama aku disuruh sembahyang di depan committee, disuruh mengaji dan ceramah di Mesjid, baru wawancara. Alhamdulillah, malam itu juga, aku dinyatakan lulus dan mendapat beasiswa dari Yayasan Almuntaha dan resmi menjadi anak asuh Yayasan.
Aku dibelikan tiket kapal laut dan uang tunai 500 ribu untuk berangkat ke Jakarta. Beasiswa bulan pertama hingga bulan-bulan berikutnya aku terima sebanyak 90.000 rupiah dengan kewajiban melaporkan IP kuliahku di UI per semester serta perincian pengunaan uang. Ya, tidak begitu sulit melaporkan kemana uang 90.000 rupiah per bulan saya gunakan. Bisa dibayangkan, sudah pasti nggak cukup! Namun mulai semester ketiga, beasiswa naik menjadi 250.000,- Sejak itu kehidupanku sedikit berkecukupan. Eksesnya, di semester III IPku turun dari target dan aku mendapat peringatan akan dikurangi beasiswanya bila IP terus menurun. Alhamdulillah, aku bisa dapat beasiswa sampai tamat dari universitas.
Setelah tamat, aku merasa ‘nggak pede’ dengan ilmu yang telah aku peroleh. Pada saat itu, aku berpikir untuk ambil S-2. Tahun 1995 aku ikut test dan memilih bidang Administrasi Kebijakan Kesehatan kelas sore, supaya aku bisa bekerja pagi hari. Pada saat itu aku sudah bekerja di sebuah perusahaan penjualan alat-alat laboratorium dan alat alat keselamatan kerja. Tapi sayangnya, aku diterima di kelas pagi. Akhirnya aku tidak bisa kuliah.
Sejak itu, semangat memburu informasi beasiswa mulai tumbuh. Aku selalu buka mata dan pasang telinga lebar-lebar mengenai beasiswa, terutama beasiswa ke Jepang. Kenapa ke Jepang? Pertama, bahasa Inggris aku tidak begitu baik, tidak akan mungkin menang bersaing dengan teman-teman. Kedua, karena aku sudah kursus bahasa Jepang sejak semester 6. Namun sayangnya, beasiswa ke Jepang, hanya untuk PNS pada waktu itu. Berakhirlah harapan untuk ke Jepang untuk sementara. Pada saat itu terlintas dipikiran, untuk mendaftar menjadi PNS agar bisa sekolah ke Jepang.
Namun, aku menyadari bahwa menjadi PNS tidak begitu gampang, harus punya KKN atau sejenis itulah. Ini yang aku tidak punya. Selama ini aku hanya ber-KKN dengan Allah. Namun akhirnya terpikir, ya, apa salahnya mendaftar? Siapa tahu diterima? Kemudian strategipun berubah. Kembali belajar bahasa Inggris seperti kebanyakan orang lain lakukan. Untuk bea kursus, aku jual komputer, sedangkan bea hidup masih aku dapatkan dari kerja, walaupun cuma gaji pokok, karena gaji tambahan (bonus penjualan) aku tidak pernah dapatkan disebabkan jualanku belum pernah laku. Memang, kelihatannya aku ini tidak cocok bekerja di perusahaan tersebut, pikirku menghibur diri.
Sambil meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, cukup sering aku pergi ke beberapa kedutaan, lembaga pemberi beasiswa menanyakan informasi beasiswa dan jadi member beberapa perpustakaan seperti British Council. Hampir semua beasiswa pada saat itu diperuntukkan untuk PNS, plus pengalaman kerja beberapa tahun. Semua hal itu tidak saya miliki waktu itu.
Akhirnya, aku membuat keputusan untuk pulang ke Aceh, karena aku tahu sering kali ada lowongan bagi Sarjana Kesehatan Masyarakat untuk Aceh yang tidak terisi.
“Kembali ke Aceh, menjadi pegawai negeri”
Dalam perjalanan pulangku ke Aceh menggunakan kapal laut, aku bertemu dengan seorang pegawai Depkes, bagian Auditing (Internal Auditing Depkes), yang kebetulan istrinya orang Aceh. Kami bercerita banyak dan dia kenal banyak pegawai Dinas Kesehatan Provinsi dan tentu pegawai Depkes.
Aku mengkofirmasikan apakah betul ada formasi SKM untuk Aceh yang tidak terisi setiap tahun. Ya, memang benar katanya. Dia memberikan saran, “Nanti sampai ke Banda Aceh, buat surat permohonan, lengkapi semua persyaratan, lalu kirimkan dokumen permohonan ke Jakarta. Di Jakarta nanti saya yang mengurusnya”, katanya. “Baik, Insya Allah saya akan ke Banda Aceh dan nanti saya beritahukan Bapak bila sudah selesai”, jawabku waktu itu.
Proses seleksi di Banda Aceh tidak begitu lama, kalau tidak salah dua hari, itupun sudah termasuk test keterlibatan dalam PKI, aku lupa nama testnya. Alhamdulillah mereka tidak minta duit. Praktis, aku hanya mengeluarkan sekitar 5 ribu rupiah untuk biaya pos.
Di Depkes aku juga sama sekali tidak keluar duit. Pak Zein, Bapak yang kujumpai di kapal laut waktu itulah yang membantu mengikuti prosesnya. Setelah keluar SK, aku mendapat bea perjalanan dinas dari Jakarta ke Banda Aceh. Bea tersebutlah yang aku gunakan untuk 'minum kopi' ala kadarnya dengan pihak yang banyak membantuku. Aku sendiri masih bisa menyisihkan sedikit uang untukku.
Jeda waktu antara pendaftaran di Depkes dan keluarnya Surat Keputusan (SK) membutuhkan waktu 3 bulan. Relatif cepat, padahal sebelumnya aku tidak begitu yakin, akan keluar SK, namun Alhamdulillah, Allah jua yang Maha Berkehendak.
Sebenarnya sebelum SK Depkes keluar, aku sudah mendapat peluang bekerja di PT. Pupuk Iskandar Muda. Kebetulan, Direktur K3-nya, salah satu pengurus utama Yayasan Almuntaha, saat itu sedang membutuhkan tenaga K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Dia juga yang menyarankan aku untuk ambil jurusan K3 pada waktu aku bingung memilih jurusan di fakultas.
Walaupun saya mendapat beasiswa dari PT PIM, tidak ada ikatan kontrak tertentu dengan bekerja di PIM. Namun pada saat itu, sangat berat rasanya untuk bekerja di PIM karena beberapa alasan. Pertama, aku merasa sungkan bekerja di lingkungan orang-orang yang selama ini begitu baik kepadaku, salah tingkah nanti jadinya, dan merasa rendah diri terus nantinya. Kedua, sebenarnya, cita-cita awal saya adalah untuk kuliah lagi, kalau di swasta, sangat sulit untuk kuliah lagi, jarang sekali swasta yang mau memberikan beasiswa. Aku melihat, di PNS lah tempat yang paling subur untuk mendapatkan beasiswa. Akhirnya, aku memilih PNS.
Aku merasa bersyukur, pada tahun yang sama, 1995, Universitas Muhammadiyah Aceh membuka Fakultas Kesehatan Masyarakat dan aku diminta membantu disana, jadi dosen dan sekaligus pengelolanya. Waduh, senang sekali rasanya! Aku masih bisa sibuk seperti waktu di Jakarta: pagi hari bekerja di Dinkes dan sore hari mengajar di kampus. Aku bersyukur, mendapatkan kesempatan ganda itu.
Namun aku tidak lupa rencana awalku. Aku mulai mempelajari cara-cara mendaftar untuk kuliah kembali. Eh ternyata aku terkena peraturan, tidak bisa sekolah langsung apabila baru menjadi PNS, ada proses Pra-jabatan supaya status pegawai menjadi 100% dan harus menunggu antrian 3 tahun. Begitulah peraturan Depkes pada saat itu. Konon, demi keadilan dan pemerataan. Namun banyak juga yang aku perhatikan tidak mengikuti aturan tersebut, banyak lewat jalan belakang juga. Yah, tahu lah yang saya maksud, iklim pada zaman itu sudah bisa dibayangkan.
“Mulai berburu beasiswa ke luar negeri”
Secara resmi, aku baru bisa mendaftar beasiswa untuk sekolah lagi tahun 1998. Pada saat itu aku mulai 'memburu'. Kebetulan, saat itu Prof. Kerling dari KIT Amsterdam sedang mengadakan penelitian di Aceh. Aku jadikan dia ‘sasaran’ pertama. Aku bantu dia mengolah data menggunakan Epi-Info dan SPSS.
Rupanya, Prof. Kerling sangat terkesan terhadap output kerjaku. Terus, aku meminta sarannya bagaimana supaya aku bisa ambil S2 di KIT. Kemudian dia kirim brosur dan sejumlah informasi lain dari Belanda. Namun KIT tidak punya beasiswa, aku disuruh melamar melalui kedutaan, beasiswa Stuned atau sejenisnya. Seseorang rekanku saat itu berjanji akan membantu mencari Application Form dari kedutaan. Namun, sampai batas waktu penerimaan formulir aplikasi aku belum terima application form beasiswa itu, padahal offer letter dari universitas sudah ada. Mungkin hal ini tidak akan terjadi, seandainya pada saat itu, ada internet seperti sekarang. Baru belakangan aku tahu bahwa di internet juga kita bisa download application form. Yang jelas, kesempatan pertama hilang.
Kesempatan kedua datang, yakni beasiswa ke University of Southern California, Amerika. Ada proyek HP IV Depkes mengirimkan pegawai untuk belajar Managed Care di USA. Wilayah kerjaku, Aceh, memang tidak termasuk wilayah proyek HP IV, tetapi Dirjen Binkesmas, menawarkan kepadaku atas nama, jatah Depkes. Tentu aku senang sekali, aku lengkapi semua persyaratan, offer letter juga aku terima. Namun akhirnya, aku tidak bisa berangkat, dengan alasan Aceh bukan wilayah HP IV. Aku sedikit kecewa pada saat itu. Ada beberapa pertanyaan dalam hatiku. "Kenapa aku dulu ditawarin, lagi pula ini bukan atas nama Aceh, melainkan atas nama Depkes, jadi tidak ada soal dengan Aceh bukan wilayah proyek".
Salah seorang yang baik hati dari Depkes memberikan solusi dan mengusulkan, untuk membuat surat Lolos Butuh dari Dinkes Banda Aceh. Artinya, setelah lulus nanti, dengan surat Lolos Butuh aku harus pindah dari Aceh ke Depkes Jakarta, karena aku pergi sekolah atas nama Depkes. Hal ini tentunya sangat sulit bagi Dinkes Aceh untuk melepaskan aku. Tapi dengan penuh perjuangan akhirnya aku bisa menyakinkan Kepala Dinas Kesehatan dan surat Lolos Butuhpun ditanda tangani. Masalah belum selesai, ada tarik ulur dalam perijinan, yang menurut beberapa rekanku sebenarnya bisa diselesaikan dengan duit. Namun saya tidak bisa membaca hal itu Sangat sulit dibaca bagi orang kurang pengalaman seperti aku ini. Permainan dalam hal itu sangat cantik, kalau tidak sudah banyak orang bisa masuk penjara. Akhirnya, kesempatan kedua hilang lagi.
Meskipun begitu, aku tidak pernah patah semangat. AusAID merupakan target berikutnya. AusAID sering menjadi target saya, tapi persyaratannya luar biasa banyaknya pada waktu itu: harus ada tanda tangan biro Kerjasama Luar Negeri, persetujuan ini, itu lah, yang membuat susah sebagian besar orang di luar Jakarta. Di samping itu Brosur dan Application Form dikirim oleh Depkes Pusat selalu telat bahkan ada yang satu minggu sebelum deadline. Entah disengaja atau apalah maksudnya, itu yang dialami oleh semua instansi di daerah. Syukurlah, sekarang internet menghilangkan hambatan surat menyurat dan akses kepada informasi.
Kesempatan ketiga yang menghampiriku adalah ke Mahidol University dengan beasiswa dari pemerintah Thailand untuk mengambil MSc dalam Primary Health Care. Dirjen Binkesmas menawarkan langsung kepadaku secara pribadi, sehingga Dinkes Banda Aceh tidak bisa menahan atau melarang aku. Akupun mengisi form, ikut seleksi, hingga akhirnya terpilih tiga orang: aku, seorang dari Bali, dan salah satu staf Dinkes Jawa Barat. Semua persiapan sudah selesai, namun tiba-tiba datang pengumuman bahwa dengan sangat menyesal, karena krisis ekonomi, nilai mata uang jatuh! Beasiswa yang semula untuk tiga orang, hanya dapat diberikan untuk dua orang. Tidak jelas bagaimana prosedur memilih 2 dari 3, yang jelas aku tidak terpilih, hanya diberikan kepada dua kandidat dari Bali dan Jabar. Sedih, tentu aku sedih, namun yang bisa aku ucapkankan belum rezeki aku.
Allah berkendak lain, “Aku harus berkeluarga dulu barangkali, mungkin bahaya sebagai lajang ke Thailand, banyak gangguan iman disana,” pikirku menghibur diri pada waktu itu. Yang pasti, sebulan setelah itu, aku menikah dengan adik kelas SMA-ku. Sudahlah, untuk sementara kutunda dulu keinginan sekolah, kami sepakat merencanakan punya si Kecil dulu. Alhamdulillah, satu bulan setelah anak aku lahir, aku berangkat ke Australia, kuliah di Monash University.
“Berprestasi di S-2, mengejar beasiswa S-3”
Menjelang akhir 2000, aku mendapat beasiswa dari ADB, namun diingatkan untuk mengambil universitas yang program Masternya satu tahun atau lebih sedikit. Wah cukup stress juga, harus selesai dalam waktu setahun, sementara mahasiswa lokal yang notabene IELTS nya 9, diberikan waktu 2 tahun.
Alhamdulillah, aku selesai juga dengan predikat ‘The Best International Student Performance’. Dengan predikat itu, universitas menawarkan aku bebas tuition fee bila mau melanjutkan ke S-3. Tentu aku senang sekali, walaupun ada kendala: darimana aku dapat living cost sekitar 1.500 dolar per bulan, belum lagi nantinya aku harus bawa keluarga. Disamping itu, Depkes tidak memperkenankan langsung dari S-2 ke S-3: harus kerja dulu baru sekolah lagi, demi keadilan dan pemerataan kesempatan, katanya.
Aku lapor situasi ini kepada Wakil Kepala Dinas. Alhamdulillah, dia memberikan jalan keluar, "Bagaimana kalau S-3 dalam negeri aja?" sarannya. Dalam pikiran saya, dari pada tidak ada, dalam negeri juga OK. Akhirnya aku ambil di UGM, tidak lagi di UI. Alasan utamanya untuk mencari suasana baru dan pengalaman baru, dan bagus bisa jadi anggota ILUNI dan KAGAMA. Baik juga buat orang Aceh seperti aku yang temperamennya sering tinggi, sering ngomong to the point, dan blak-blakan. Mudah-mudahan nantinya aku bisa sedikit berubah dalam hal bicara, attitude dan sejenis itulah. Paling tidak aku dapat sedikit berubah lah, walaupun aku sadari itu sangat sangat sulit. Ya, setidaknya itu alasan lain kenapa aku pilih UGM tidak kembali ke UI. Walaupun demikian, aku memilih satu orang pembimbingnya juga dari UI.
Setelah diterima di UGM, targetku bukan beasiswa luar negeri lagi, paling tidak untuk sementara waktu. Dari informasi teman-teman, beasiswa dalam negeri sangat sulit untuk mendapatkannya, bahkan lebih sulit dari pada beasiswa luar negeri. Karena banyak orang yang memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan, misalnya, beasiswa dalam negeri tidak mengharuskan nilai bahasa Inggris yang tinggi. Cuma ada satu beasiswa yang tidak banyak orang bisa melamar, yaitu beasiswa dari Habibie Center, Nah, ini yang harus menjadi sasaran berikutnya.
Ternyata aku memenuhi semua semua persyaratan yang diminta dan akhirnya aku dapat beasiswa dari Habibie Center. Alhamdulillah, lumayan besar. Beasiswa Habibie Center satu tahun hampir sama jumlahnya dengan beasiswa lain dua tahun.
Setelah tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, semangat belajar aku mulai mundur. Aku pertanyakan diriku sendiri, “Untuk apa aku ini sekolah terus? Apa sih yang aku cari?” Aku sering meninggalkan keluarga. Seandainya dulu anakku tidak cepat lari ke atas bukit, dia akan terbawa arus. Pasti aku merasa bersalah, tidak berada disampingnya, tidak bisa membantu dia di kala dia sangat membutuhkan pertolongan dari ayahnya. Aku terus merenung.
Hal lain yang membuat semangatku menurun sampai ke titik paling rendah adalah topik penelitian aku tidak begitu relevan lagi seusai kejadian tsunami di Aceh. Isu mengenai Decentralized Health Planning and Resources Allocation, tidak up to date lagi di Aceh. Isu tsunami lebih dominan sekarang, dan model perencanaan tidak lagi menggunakan model dalam keadaan normal. Hasil case study di Aceh tidak bisa digeneralisasi untuk daerah lainnya, nantinya, karena konteksnya sudah sangat berbeda.
Hampir enam bulan lebih, disertasi aku tidak pernah aku pegang. Selain alasan jenuh, juga mulai sangat sibuk dengan berbagai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Namun setelah bergabung dengan proyek AusAID, semangat aku untuk kuliah mulai sedikit kembali muncul, terutama setelah aku kenal beberapa dosen dari universitas Melbourne dan Monash yang kebetulan bekerja untuk beberapa program rehabilitasi di Aceh.
Semangatku mulai sedikit terdongkrak kembali telah menerima beasiswa STUNED ke Belanda, untuk program Short Course. Aku minta izin dari AusAID dengan konsekuensi aku tidak memperoleh gaji aku selama aku di Belanda. Aku memilih ke Belanda, dengan harapan siapa tahu semangat kuliah aku bangkit kembali, kembali seperti semula.
Sekitar seminggu sehabis pulang dari Amsterdam, aku harus berangkat lagi ke London , dengan beasiswa dari Chevening, mengingat kuliah akan dimulai. Waduh, rasanya berat sekali untuk meninggalkan anak-anak dan istriku. Apa alasan yang aku harus sampaikan kepada anak aku supaya dia bisa mengizinkan aku berangkat ke London. Waktu ke Belanda, tidak begitu sulit, cukup dengan alasan "Ayah pergi hanya sekitar 5 minggu". Sekarang, apa alasan yang bisa membuat dia tidak menangis. Tiba-tiba terpikir jawaban berikut, "Yumna belum bisa ikut sekarang. Pertama, ayah belum ada rumah di London. Yang kedua, Yumna belum bisa bahasa Inggris."
Yumna, anakku, rupanya menyadari bahwa dia belum bisa bahasa Inggris. Membaca dalam bahasa Indonesia saja belum lancar, apalagi bahasa Inggris. Setelah satu minggu saya berada di London, istriku mengabarkan bahwa Yumna, minta les bahasa Inggris dan sudah dua hari dia ikut kursus. Menetes air mataku saat itu, karena aku tahu sebenarnya anakku belum siap untuk melepaskan aku pergi, namun dia tidak bisa bilang apa-apa karena dia belum bisa bahasa Inggris. Mungkin, dia yakin, setelah kursus bahasa Inggris, aku tidak punya alasan lagi untuk tidak membawa dia bersama aku.
Akhir November, 2005, istriku memberitahukan bahwa ada surat dari AusAID,
surat pemberitahuan lulus seleksi adiministrasi dan undangan wawancara untuk S3 pada tgl 20 Januari 2006. Alhamdulillah, pikirku. “Mudah-mudahan tahun ini lulus dan bisa berangkat ke Australia setelah pulang dari London, “ demikian doaku ketika menerima telpon. Istriku juga senang, karena dia tahu, biasanya beasiswa AusAID, mengizinkan membawa keluarga, plus bantuan beasiswa untuk keluarga tentunya.
Ada dua universitas yang menjadi target saya, Melbourne Uni dan Monash Uni tempat S2 aku tempo hari. Monash University lebih cepat merespon lamaran aku dengan mengirim offer letter, bahkan sekalian mengirimkan form Monash International Scholarship. Dalam dua hari, form tersebut aku lengkapi dan kirim kembali ke Monash. Dr Rory, dosen Statistikku dulu, yang sekarang menjadi PhD programme Coordinator, memberitahukan bahwa applicationku sudah diteruskan kepadanya, dari Rektorat Monash dan aku bisa masuk ke babak berikutnya, yaitu pembahasan oleh tim Fakultas.
Secara pribadi, Dr Rory mengirimkan email kepada aku memberitahukan bahwa, kelemahan aku adalah tidak ada international journal publication. Namun dia memberikan solusi untuk meminta assessment dari profesor di University Syiah Kuala terhadap beberapa laporan pekerjaan aku selama ini, mungkin ada beberapa yang setara nilainya dengan article di international journal bila dipublikasikan. Namun sayangnya, aku berada di Inggris pada saat itu, dan sangat sulit memenuhi permintaan tersebut. Demikian baiknya Rory, dia menyarankan, kalau susah kembali ke Aceh, lebih baik meminta assesment dari London School Hygiene and Tropical Medicine atau London School of Economics tempat aku kuliah sekarang ini. Waktu tinggal dua hari lagi, tidak mungkin lagi aku minta langsung ke Direktur Program, akhirnya Koordinator Program. Namun karena mungkin dia belum profesor, rekomendasi dia tidak begitu sakti di mata profesor-profesor senior di Monash University. Aku tidak merasa sedih sama sekali mendengar berita tidak lulus dari beasiswa Monash University, karena peluang dari AusAID masih ada.
Wawancara tanggal 20 January 2006 lalu di Medan aku lewati dengan baik. Aku bisa meyakinkan interviewer dalam banyak hal. Antara lain, aku punya record yang baik dalam memburu beasiswa. Aku pernah mendapatkan beberapa beasiswa seperti dari BRI, PT. Pupuk Iskandar Muda, ADB, Yayasan Malem Putra, Habibie Centre, British Chevening dan terakhir dari Stuned. Di samping itu, aku pulang dari London hanya untuk wawancara ini, jelasku kepada dua orang interviewer.
Sesungguhnya, di samping menghadiri wawancara, aku juga pulang untuk memenuhi janjiku pada Yumna, anakku: janji untuk membawanya bersamaku ke London. Dia pantas dibawa, karena tiga bulan sudah dia berkorban duduk di ruang kelas kursus bahasa Inggris IEC Neusu Banda Aceh. Syukurnya, aku pulang tes wawancara bersamaan dengan ketika visa untuk keluargaku sudah keluar!
Tanggal 15 Februari 2006 yang lalu, beasiswa AusAID diumumkan, dan Alhamdulillah, nomor test aku 05/00064, ada diurutan ke empat. (SELESAI)
London, 4/10/2006 2:37:04 AM
Asnawi.Abdullah@gmail.com